diinfoin — Pemilihan umum di Indonesia berikutnya akan menjadi peristiwa demokrasi terbesar ketiga di dunia, terlepas dari pro kontra tentang adanya penundaan Pemilu 2024 atas gugatan yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) kepada KPU.
Pemilu nanti menentukan presiden, wakil presiden, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari DPR dan DPD, serta anggota badan legislatif lokal.
Kementerian Dalam Negeri melaporkan bahwa jumlah pemilih terdaftar mencapai 204 juta. Berdasarkan beberapa faktor, hasil dari pemilu nanti akan berbeda dengan pemilu sebelumnya.
Pertama, secara dividen demografis memungkinkan jutaan Generasi Z (Gen Z) dan milenial usia kerja akan memberikan hak suaranya, dengan perkiraan jumlah mencapai 54% dari total pemilih.
Pada pemilu 2014 dan 2019, pemilih milenial dianggap sebagai faktor penentu dalam hasil pemilu tersebut. Para kandidat bahkan secara khusus menargetkan kampanye mereka pada pemilih milenial.
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 nanti, bagaimanapun, akan jauh berbeda. Fokus kali ini akan tertuju pada masalah-masalah yang berhubungan dengan pemilih Generasi Z (Gen Z). Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa perguruan tinggi dan calon pencari kerja.
Kurangnya peluang mendapat pekerjaan, akses yang semakin sulit dalam penanganan finansial dan layanan kesehatan, serta isu-isu iklim kemungkinan akan mempengaruhi cara mereka memberikan suara dan akan menuntut para kandidat untuk berkampanye.
Kedua, selama pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019, platform media sosial seperti Facebook dan Twitter memainkan peran penting bagi calon presiden dalam berkampanye.
Namun, kali ini, meningkatnya popularitas platform media sosial asal Tionkok, TikTok, kemungkinan besar akan menjadi fokus utama, yang berarti Twitter dan Facebook kini akan dikaitkan dengan generasi baby boomers dan pengguna yang lebih tua.
TikTok sekarang menjadi salah satu platform media sosial paling populer di Indonesia, per April 2022 saja, terdapat sekitar 99 juta pengguna aktif, hanya kalah dari Amerika Serikat. Kandidat yang paling banyak memanfaatkan platform tersebut berpotensi memperoleh keuntungan yang signifikan.
Podcast juga semakin populer di Indonesia. Media ini masih sangat muda pada pemilihan sebelumnya, namun saat ini semakin banyak orang Indonesia yang mendengarkannya, dan jumlah podcast yang disiarkan di Indonesia, termasuk dalam bahasa Indonesia dan yang membahas isu-isu politik, semakin meningkat.
Ketiga, pada tahun 2014 ketika Joko Widodo dan mantan jenderal Prabowo Subianto bertarung dalam pemilihan presiden, narasi yang diangkat adalah “masa lalu versus masa sekarang (Zaman Now)”.
Prabowo dianggap mewakili “masa lalu” karena kaitannya dengan rezim Orde Baru, sementara Jokowi dianggap sebagai “harapan” atau “masa depan”. Narasi tersebut menguntungkan Jokowi yang lebih mampu menarik pemilih milenial daripada Prabowo.
Pada Pemilu 2024 nanti, kemungkinan calon-calon yang muncul akan mewakili generasi saat ini (Zaman Now) atau Generasi Z, kecuali Prabowo yang pada usia 71 tahun kembali mencalonkan diri.
Sebagian besar calon yang diperkirakan akan berlaga pada 2024 pada rentang usia di bawah 60 tahun dan dianggap tidak memiliki hubungan dengan “masa lalu”.
Menjelang tahun pemilihan, Indonesia menghadapi tantangan yang lebih sulit daripada pada 2014 atau 2019. Negara masih berjuang dari pandemi COVID-19 dan berada dalam tahap pemulihan.
Angka pengangguran terus meningkat. Prospek resesi global pun tengah mengancam ekonomi Indonesia dan mengancam pemulihannya pasca-pandemi.
Singkatnya, hal-hal menjadi lebih sulit di Indonesia daripada lima atau sepuluh tahun yang lalu. Dalam menghadapi tantangan tersebut, pemilih mengharapkan pemimpin masa depan mereka mampu menawarkan solusi efektif untuk mengatasi masalah tersebut.
Dalam politik Indonesia, keputusan kritis bagi pemilih bukanlah memilih Kiri atau Kanan, tetapi tentang apa yang dapat calon (presiden) tawarkan untuk membuat kehidupan lebih mudah bagi warga biasa.
Sumber: channelnewsasia.com
Diskusikan tentang artikel ini