diinfoin — Presiden Jokowi (Joko Widodo) memanggil Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, ke Istana pada hari ini.
Dalam pertemuan tersebut, Jokowi meminta Mahfud untuk memberikan penjelasan mengenai transaksi yang mencurigakan sebesar Rp 349 triliun kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Mahfud MD menyatakan bahwa penjelasan akan diberikan pada hari Rabu, 29 Maret. Jokowi meminta Mahfud untuk memberikan penjelasan yang jelas dan terperinci mengenai dugaan tersebut kepada semua pihak.
Hal ini sangat penting karena kepala negara menginginkan adanya transparansi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
“Saya siap datang hari Rabu jam 14.00 WIB dan saya akan didampingi oleh para pejabat eselon satu,” tegas Mahfud di Kompleks Istana Merdeka, Senin (27/3).
Mahfud menjelaskan bahwa eselon satu yang dimaksud berasal dari instansi yang tergabung dalam Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Mahfud sendiri menjabat sebagai ketua Komite TPPU.
Lebih detailnya, anggota Komite TPPU terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Teroris, dan Badan Narkotika Nasional.
Selain itu, pada hari yang sama, Presiden Jokowi juga memanggil Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, ke Istana. Namun, Ivan tidak memberikan informasi terperinci mengenai arahan yang diberikan oleh Jokowi.
“Banyak yang kita bahas ya, saya dapat arahan dari Presiden Jokowi,” ucap Ivan di Kompleks Istana Merdeka, Senin (27/3).
Sebelumnya, Mahfud MD telah mengungkapkan bahwa total transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan mencapai Rp 349 triliun, naik hampir Rp 50 triliun dari dugaan sebelumnya sebesar Rp 300 triliun.
Mahfud menjelaskan bahwa angka tersebut merupakan nilai perputaran transaksi, yang artinya jumlah uang yang terlibat dalam dugaan tindak pidana pencucian uang tersebut lebih kecil dari nilai yang dicurigai.
Namun, Ivan Yustiavandana menampik bahwa transaksi mencurigakan tersebut berasal dari Kementerian Keuangan.
Ia menyatakan bahwa mayoritas kasus dugaan pencucian uang tersebut berkaitan dengan urusan ekspor-impor yang ditangani oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta pajak yang ada di bawah Direktorat Jenderal Pajak.
Ia juga mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus, nilai transaksi yang dicurigai mencapai puluhan bahkan ratusan triliun rupiah, namun tidak semua terjadi di Kementerian Keuangan.
Ivan mengibaratkan laporan tersebut dengan ketika PPATK memberikan laporan dugaan korupsi ke KPK. Dokumen tersebut bukanlah kasus yang melibatkan pegawai KPK, tetapi merupakan bagian dari tugas KPK sebagai penyidik tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
“Jadi sama sekali tidak bisa diterjemahkan kejadian tindak pidananya itu di kementerian keuangan, ini jauh berbeda,” terang Ivan dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Selasa (21/3). (sumber/diinfoin)
Diskusikan tentang artikel ini